Surat Pak Mentri Yang Bikin Ramai

Beberapa hari lalu di timeline ramai urusan surat edaran pak menteri. Penasaran, saya googling, koyo opo to SE yang bikin banyak orang bereaksi. Mulai dukungan tanda setuju, kritik ketidaksetujuan, menilai kebijakan ini bukan sesuatu yang signifikan hingga menuduh pemerintah mulai dzolim. Wadooowww.

Akhirnya saya dapat versi asli dan lengkap dari website resminya KEMENPAN. Trus langsung to, saya download lanjut saya baca. Tamat saya baca, trus saya rada heran, emang kenapa? Apa yang salah ya? Apa karena pikiran saya ini terlalu sederhana, susah buat mikir yang melip-melip alias ndakik-ndakik. Coba sih saya blejeti ulang.

Pertama, Pak Mentri ngendikan untuk:  membatasi undangan acara seperti pernikahan, tasyakuran dan acara sejenis lainnya maksimal 400 undangan saja, juga membatasi jumlah peserta yang hadir tidak lebih dari 1000 orang.

Wah, waktu saya nikah hanya nyebar undangan 200, je. Jadi saya ndak mbayangin pesta dihadiri hingga 1000 orang. Apakah karena saya tidak mampu? Enggak juga sih, kayanya. Waktu saya nikah saya golongan IIIa, dengan tidak ada tanggungan harus mbiyayain siapa-siapa. Sedangkan PNS golongan I saja di tempat saya berani lo, ngadain pesta besar-besaran, nanggap ini-itu. Darimana biayanya? Yang saya tahu sebagian dengan hutang.

Saya pernah tahu, pimpinan yang dulu tidak menyetujui permohonan kredit bank yang hanya akan digunakan untuk pesta bukan untuk sesuatu yang sangat mendesak atau sesuatu yg produktif. Seisi kantor mengkritik beliau. Padahal seringkali begini, saat sudah terbebani dg cicilan bank, seorang PNS jadi berkurang produktifitasnya. Ngantor ogah-ogahan, jam 10 sudah lenyap tak berbekas. Kalau ditanya, kemana? Jawabnya: nyari ceperan lah, mana cukup gaji tinggal segini doang! Nah lo.

Mungkin, mungkin lo ini ya, hal-hal begini ini yang diantisipasi oleh Pak mentri. Itu yang pertama. Yang kedua mungkin juga kekhawatiran pesta akan menjadi ajang suap. Bisa kan ya. Kalau yang ngundang seorang pejabat, maka orang-orang berkepentingan terus berlomba menyelipkan amplop setebal-tebalnya. Memang enggak mesti itu terjadi, tapi potensi kan ada.

Lalu selanjutnya himbauan untuk tidak memperlihatkan kemewahan dan/atau sikap hidup yang berlebihan serta memperhatikan prinsip-prinsip kepatutan dan kepantasan sebagai rasa empati kepada masyarakat. Ini saya malah makin bingung, bagian mana yang diprotes? Substansinya bagus lo ya. PNS itu kan bagian dari pemerintah juga, yang ngayomi masyarakat. Lah kalau yg diayomi buat beli beras saja masih susah, opo yo tego sing kudune ngayomi mempertonkan kemewahan? Itu kalau pikiran sederhana saya sih, kan di awal sudah saya bilang, saya nggak bisa mikir terlalu ndakik. He..he…bisa kumat migren yang sudah bertahun-tahun sembuh ini.

Lalu larangan memberikan karangan bunga kepada atasan atau sesama pejabat pemerintahan.

Nah, ini yang saya ndak setuju! Lho? Iya bener. Menurut saya ini masih kurang lengkap. Bukan hanya karangan bunga dong Pak Mentri yang dilarang. Tetapi juga parsel atau bahkan hasil kebun. Iya loh, kalau di desa kadang bawahan suka ngasi hasil panen ke atasannya, dengan maksud supaya disayang atasan. Gak selalu sih, ada udang dibalik rempeyek, banyak juga yang suka ngasih dengan ikhlas, tapi menjaga hal-hal yang tidak diinginkan kan juga bagus tho?

Trus Pak mentri juga melalui SE ini menyebutkan agar membatasi publikasi advertorial yang menggunakan biaya tinggi. Ini juga saya setuju saja sih. Hemat anggaran, hemat uang rakyat, termasuk duit saya juga lo didalamnya. Banyak cara untuk membuat informasi pembangunan bisa tersebar. Coba Pak mentri, PNS itu dikasih pelatihan ngeblog semua, trus suruh mereka ngeblog deh. He..he…trus PNS yang rajin ngeblog (tentunya yg tulisannya berkualitas) dikasih poin tertentu yang nanti ada rewardnya. *Huuu….maunya!

Oya, banyak yang menilai surat edaran ini adalah kekonyolan semata. Jauh dari signifikan. Kalau buat saya justru sebaliknya. Banyak hal besar dimulai dari hal-hal kecil. Lagipula, kalau buat saya pribadi, urusan kesederhanaan itu bukan hal kecil, melainkan hal penting.

Ada juga yang menilai, PNS itu tanpa disuruh sederhana juga sudah sederhana dengan sendirinya, sederhana karena keadaan atau keterpaksaan. Ah, saya kok tidak melihat begitu ya. Maksud saya enggak selalu begitu. Tidak bisa digeneralisir lah.

Sungguh. Berpuluh tahun menjadi anak seorang PNS, mengamati rekan-rekan bapak saya, lalu sepuluh tahu juga sudah saya menjadi PNS, dan mengamati rekan-rekan saya, tampaknya tidak semua juga kok yang bisa dianggap hidup sederhana. Almarhum Bapak seingat saya pernah dibuat “sibuk” akibat salah satu stafnya yang bermasalah, akibat kegedean gaya daripada daya.

Apakah penghasilan pas-pasan lantas menjadi jaminan hidup sederhana? Yang saya amati. Ini yang saya amati lo ya, mboten pareng protes, he..he…, banyak juga lo yang terjebak dalam gaya idup hedon. Tas dan pakaian mesti yang bermerek. Mobil harus yang bagus, baru dan mulus. Beneran, ini saya lihat dengan nyata di sekeliling saya.

Akhirnya, semua kembali ke persepsi. Beda kepala memang beda isi. Yuk coba lihat SE ini lebih jernih. Kalau enggak setuju, ya gak papa. Bikin saja surat kritikan dan masukan buat beliaunya. Jangan hanya beraninya misuh-misuh di sosmed ah, ndak ilok. Wis saya mau kerja dulu yaa. Kerja,kerja, kerja. Eh… emoh. Kerja, kerja, gajian! Gitu lak enak. Uupps… just kiding. Slamat hari jumat kawan.

16 respons untuk ‘Surat Pak Mentri Yang Bikin Ramai

  1. Janiarto Paradise berkata:

    kalau menurut saya, soal undangan itu bukan hanya soal orang yang menikah, tapi juga soal orang tua yang menikah, bahkan orang tua mempelai perempuan yang lebih penting, karena setahu saya memang disunahkan untuk meramaikan acara walimahan, agar orang-orang tahu bahwa si mempelai wanita anaknya bapak anu sudah menikah lo… gimana kalau bapaknya pengusaha kaya yang punya banyak relasi 🙂 #mohon koreksi jika salah..
    soal suap menyuap… apakah jumlah 400 itu akan menutup peluang terjadinya suap? gimana kalau yang 400 itu orang kaya semua? menurut saya itu tergantung niat si penyelenggara pestanya, apakah memang ingin pamer atau bermaksud baik, gimana kalau orangnya ngundang 2000 orang yang kurang mampu untuk berbagi rezeki… ini misalnya aja mbak, karena hati orang siapa yang tahu kan…
    saya sendiri nggak paham apakah edaran ini akan berefek sanksi, tapi menurut saya surat edaran semacam ini kurang signifikan… kreatifitas yang kurang berkualitas… yang penting itu pengawasan dan transparansi anggaran, bukan ngurusan urusan pribadi orang lain…

    *ini pendapat pribadi…

    Suka

  2. wyuliandari berkata:

    Ha..ha…, baru tahu prinsip itu Mak. Scara yg sering aku denger, undang sebanyak2nya biar balik modal, syukur surplus. wkwkwk adda ajah!

    Suka

  3. wyuliandari berkata:

    Tidak apa-apa pak, semua boleh berpendapat. Memang walimah dg maksud pernikahan diketahui orang itu adalah tuntunan. Tapi apa ya juga mengatur/membatasi jumlah harus lebih dari 400 begitu? atau harus semua yg dikenal diundang? Kalau hanya sekadar agar semua relasi yg jumlahnya banyak itu bisa tahu, toh ada cara lain. Tak harus kan sekian ribu diundang resepsi. Ada yg mengirim sekadar selembar pemberitahuan bahwa si ini dan itu sudah menikah.

    Beropini mah bebas. kalau menilai ini kebijakan yg kurang signifikan,lalu yg signifikan itu seperti apa? Alangkah baiknya kalau ditulis lalu di sampaikan ke beliau2nya. Sehingga pemikiran kita bisa menjadi sumbangsih bagi negara ini. Bukan sekadar menjadi obrolan2 yang akan segera lenyap dan dilupakan. Salam

    Suka

  4. Janiarto Paradise berkata:

    mau berapapun yang diundang, 400 atau 10000 itu terserah yang punya acara, itu urusan pribadi, kecuali acaranya pakai uang negara, itu baru jadi masalah….

    pakai selembar pemberitahuan??? saran saya, sampaikan ini sama keluarga mbaknya, teman2-mbaknya,bahkan bisa bilang juga ke teman2 mbaknya “saya nggak usah diundang, kasih tahu aja kalau situ atau anak situ sudah nikah”, dan semoga mbaknya konsisten, jadi kalau anak mbaknya nikah nanti juga cuma ngundang 400 orang, sisanya pakai lembar pemberitahuan 🙂 …

    kalau ini kurang signifikan, menurut saya nggak perlu dibuat… saya nggak perlu ngasih tahu yang signifikannya seperti apa… menurut saya penghematan di kantor2 pemerintahan signifikan, sangat MASUK AKAL, karena yang digunakan itu uang negara, la kalau pernikahan pakai uang pribadi? kalau nasehat mah nggak usah pakai edaran…

    saya menulis komentar ini untuk menanggapi tulisan mbaknya, menyampaikan pendapat saya yang berbeda, bolehkan? karena ada orang lain juga yang membacanya, jadi pembaca2 tersebut tidak hanya mendapat perspektif dari mbaknya…

    tulisan ini online, bisa dibaca siapa saja, presiden atau menteri bisa saja membacanya kalau berkunjung ke blog ini, tapi apa sempat? sama saja kalau saya kirim ke orang2 tersebut, apa sempat mereka membacanya?
    tulisan ini sama dengan artikel tulisan mbaknya diatas, bisa saja menjadi obrolan2 yang akan segera lenyap dan terlupakan… karena tulisan ini berada di kolom komentar blog mbaknya…

    tapi menurut saya masukan saya ini tidak akan lenyap dan terlupakan, kecuali mbaknya menghapus komentar ini, saya rasa muluk sekali rasanya kalau saya sampaikan masukan ini ke menteri, bahkan pendapat para ahli saja diabaikan, apalagi saya… 🙂

    tapi saya yakin banyak pemimpin atau calon pemimpin yang berkunjung dan membaca blog mbak ini, semoga mereka juga membaca komentar saya ini, agar mereka tahu batas URUSAN PRIBADI orang lain, sehingga tidak membuat kebijakan yang TIDAK PATUT…

    Suka

  5. wyuliandari berkata:

    Saya buka tipe yang suka menghapus komentar orang. Saya rasa akan lebih elok kalau sangat panjang lebar begini Anda tulis di blog Anda sendiri. Tapi thanks anyway sudah mau repot2 nulis begitu panjang di kolom komentar blog saya 😀

    Insyaallah kalau anak saya kelak yg menikah.Kalau bisa justru lebih sedikit dari 400 orang. Selembar pemberitahuan itu bukan ide “ngawur” saya Pak. Harap Anda tahu, ini pernah disampaikan seorang dosen terhormat di institut teknologi terbaik di negeri ini, dan dilakukan oleh mereka. Kalau himbauan untuk tidak mengundang saya, hei tampaknya Anda mulai “ngawur”, kalau orang mengundang masa saya tidak mau. Lucu juga ya cara berpikir Anda.:D saya kira ini sudah diluar konteks tulisan saya.

    Saya harap ini komen terakhir. Karena akan kontraproduktif kalau saya melayani “debat”. Percuma! Kalau tujuan Anda memang mencari kebaikan, mengapa harus enggan menulis di blog sendiri? MEngapa harus malu menyampaikan pada yg bersangkutan? Sungguh Aneh! 😀

    Suka

  6. Janiarto Paradise berkata:

    seperti saya bilang, agar pembaca blog ibu bisa langsung membaca perspektif yang lain,
    tidak ada komentar saya yang menyiratkan saya malu kepada yang bersangkutan kok… 🙂
    terserah kalau mau dianggap debat, bagi saya ini hanya diskusi, menyampaikan pendapat,

    komen saya ini enggak perlu ditanggapi lagi, biar ibunya nggak kontraproduktif… 🙂

    Suka

  7. Janiarto Paradise berkata:

    btw, terimakasih atas ilmu barunya bu, saya baru dengar ada dosen yang yang mengatakan seperti itu, itu bisa jadi salah satu referensi bagi orang yang ingin melakukan hal yang sama, termasuk saya misalnya,
    satu masukan untuk ibu, menulis di media online berarti siap menerima respon yang beragam, termasuk respon seperti saya yang mungkin kurang nyaman dibaca, saya sendiri dari membaca komentar ibu saya mendapat ilmu baru soal dosen yang kata ibu di institut terbaik itu, itulah tujuan dari menulis, berbagi, mau di blog sendiri atau berkomentar diblog orang lain,
    saya sendiri senang kalau orang lain mengomentari tulisan saya sedikit lebih panjang, daripada hanya komentar sambil lalu 4-5 kata…
    mohon maaf kalau komentar saya mengganggu ketenangan blog ibunya, saya tidak mengatakan ibu akan menghapus komentar saya, silahkan dibaca lagi komen saya diatas… 🙂
    komen saya ini enggak perlu ditanggapi lagi, biar ibunya nggak kontraproduktif… 🙂

    Suka

  8. Jihan Davincka berkata:

    Mau menanggapi yang soal walimahan harus ramai-ramai. Aneh juga, ya. Padahal tuntunan hidup sederhana juga ada dalam agama Islam :). Tidak perlu foya-foya. Jujur, sayang euy, kalau pesta kawinan saja mesti kayak gitu :(. Ada budaya barat yang cukup bagus yang bisa kita ikuti. Setahu saya di US, orang kalau menikah pasang pengumuman di koran ^_^. Semacam iklan berbayar gitu untuk memberitahu kalau pasangan A dan B sudah menikah. Pestanya sendiri hanya mengundang keluarga terdekat. Kalau yang dikhawatirkan akan terjadi pergunjingan karena alasannya kok gak ngundang, ya bisa pakai alternatif pemberitaan di koran itu kan ^_^. Heran juga, kenapa ada juga yang menganggap hidup sederhana = hidup susah. Lebih heran lagi, kemarin-kemarin pada ribut BBM naik dan kasihan katanya ada yang kurang mampu, eh sekarang kok ada juga yang ngotot kalau pesta besar-besaran sah-sah saja :D. Ada-ada saja deh ya :p

    Suka

  9. Pakde Cholik berkata:

    Himbauan seperti itu sudah ada sejak dulu. Jaman dulu bahkan ada buku biru tentang Pola Hidup Sederhana.
    Tapi yang sederhana ya tetap wong cilik, walau ada juga yang sampai hutang untuk menikahkan putrinya
    Rasulullah Saw menganjurkan agar mengadakan walimatul urusy secara sederhana saja.
    Tapi begitulah yang namanya manusia.

    Menghadiri undangan itu sangat dianjurkan, tetapi kalau nggak punya uang ya nggak usah memaksakan diri ngasih uang. Cukup ucapkan selamat dan mendaoakan saja.
    Ngasih uang atau barang kepada orang lain boleh-boleh saja asal niatnya lurus untuk sedekah, kalau niatnya untuk yang non ibadah ya malah nggak dapat apa-apa.
    Biasalah himbauan2 seperti itu setiap ada pergantian pejabat. Kadang pelaksanaannya memble.
    Salam hangat dari Surabaya

    Suka

  10. Susanti Dewi berkata:

    yang saya amati, di lingkungan terdekat saya, banyak peg pemerintah yg hidup bergaya hedon. Ini yg harus dihindari.Mungkin salah satunya dgn adanya SE tersebut, utk menghindari dan meminimalisasi hal tsb. Agama Islam pun mengajarkan kesederhanaan.

    Suka

Tinggalkan komentar