Tempat Hangat Bernama Rumah

Pulang adalah kembali, ke tempat di mana orang-orang terkasih memeluk hangat dengan lengan dan jiwa mereka (WY)

Tempat yang kami sebut rumah.... Rumah ibu, rumah leluhur, tempat kami pulang untuk menghirup hangat kasih pendahulu kami

Tempat yang kami sebut rumah….
Rumah ibu, rumah leluhur, tempat kami pulang untuk menghirup hangat kasih pendahulu kami

Inilah tempat saya pulang, kembali ke tempat yang hangat. Hangat, tak hanya karena pelukan secara fisik dari orang-orang terkasih. Namun juga hangat dengan kasih pendahulu yang telah berada di tempat yang abadi. Mendahului kami.

Di rumah ini ada jejak pak yai, ada aroma mak nyai, ada tapak tangan mbah kakung, mbah putri, bapak …ah… ini rumah keprabon. Rumah tempat pulang tak hanya bagi saya, namun juga bagi kakak saya satu-satunya, bagi para sepupu, dan seluruh anggota keluarga besar.

Rumah ini berada dalam sebidang tanah keluarga yang cukup luas, yang di dalamnya terdapat beberapa rumah milik orang-orang yang berhubungan darah. Tanian lanjang, demikian penduduk lokal menyebut halaman luas memanjang tempat bermain kami di masa kecil. Menjadi cukup luas dan memanjang karena, rumah-rumah dalam satu area tersebut tak berpagar satu per satu rumah. Pagar hanya membatasi lahan satu keluarga besar dengan lahan milik keluarga lainnya. Halaman rindang dipenuhi aneka tetumbuhan. Pohon mangga, jambu, sawo, kenitu, dan…ah, jangan lupakan pohon jambu biji tempat saya dan para sepupu bergelantungan bak monyet, masa kami kecil.

Dulu, saat masih menuntut ilmu di Surabaya, rumah ini menjadi tempat pulang yang adem. Tempat tetirah sejenak, lepas dari beban kuliah. Maka, saat akhir pekan, adalah saat tepat untuk meluncur kesana meski harus menempuh dua ratus sekian kilometer dari Surabaya. (Hanya kantong kosong dan tugas kuliah yang tak memungkinkan, yang bisa menghalau saya dari “pulang” kala itu).

Rumah kami ini terletak di Desa Prajekan Kidul, masuk wilayah Kabupaten Bondowoso namun lebih dekat ke kota Kabupaten Situbondo. Jadi tempat ini Bondowoso secara administratif, namun Lebih Situbondo secara geografis dan budaya. Dua ratus an kilometer dari Surabaya, ke arah timur.

Perjalanan pulang ke rumah ini, biasa saya tempuh enam hingga tujuh jam dari tempat kos di perumahan dosen ITS Surabaya hingga menginjakkan kaki di beranda rumah. Perjalanan yang lumayan panjang dan harus berkali-kali ganti kendaraan umum. Tetap saja ditempuh untuk satu kata. Pulang.

Untuk mencapai rumah, angkutan pertama yang harus digunaan saat itu adalah angkot S, orang Surabaya sering menyebutnya Bemo Len S (padahal dia sama sekali bukan bemo). Kendaraan berwarna biru donker ini yang akan membawa saya dari pertigaan Sakinah (mini market di belakang ITS) hingga terminal Bratang (lidah surabaya melavalkannya sebagai : mbratang). Dari Bratang, perjalanan disambung degan Bus Kota, yang akan membawa penumpang ke terminal Purabaya, atau Bungurasih.

“Mbungur….mbungur…”, demikian teriak kenek mencari penumpang.

Bratang-Purabaya ditempuh tak lebih dari satu jam, jika tak macet. Di Bungurasih ini bisa pilih Bus Surabaya-Banyuwangi, Surabaya-Jember menuju Terminal Bayuangga, Probolinggo. Di Bayuangga-Probolinggo, ganti Bus lagi kalau mau cepat. Kalau tidak, tetap saja di bus, dengan catatan yang dinaiki bus Surabaya-Banyuwangi. Kalau pas yang dipilih bus Surabaya-Jember, mau tak mau harus turun di Bayuangga ini. Dari terminal Bayuangga ke terminal bus Situbondo hanya sekitar 2-3 jam. Lalu dari terminal bus Situbondo perjalanan dilanjutkan dengan bus kecil atau colt umum jurusan Situbondo Bondowoso.

Terakhir kali saya berperjalanan Surabaya-Situbondo dengan bus, sekitar 2002, setelah itu tak pernah lagi. Karena perjalanan ke Surabaya setelahnya biasa saya lakukan dengan jasa travel agent.

Terakhir seingat saya, ongkos total Surabaya hingga rumah tak lebih dari dua puluh ribu, saya lupa pastinya.

Berdinding sebagian kayu, sebagian lagi tembok. Rumah yang kini menjadi kediaman ibunda masih menunjukkan bentuk aslinya. Kata Mbah Putri, rumah ini dibangun saat pakde masih dalam gendongan beliau, perkiraan saya sekitar 65-70 tahun lalu. Arsitekturnya khas bangunan masa itu, dengan pengaruh gaya bangunan madura. Tak terlalu banyak perubahan pada bangunan ini hingga saat ini. Barang-barang didalamnya pun sebagian masih asli. Inilah salah satu hal yang membuat rumah ini menjadi tempat hangat buatku. Barang-barang itu seperti berjiwa. Hangat!

Inilah rumah tempat kami selalu ingin pulang. Ini tempat yang kami niatkan untuk menjadi tempat pensiun kami kelak. Dimana kami, saya dan suami duduk di beranda sambil menulis atau membaca perkembangan dunia terkini melalu gadget kami. Inilah rumah dimana ingin kujadikan salah satu ruangnya sebagai perpustakaan. Dan kan kuisi dengan lemari-lemari jati tua, hasil kami berburu barang antik.

Lalu didalam lemari tua itu kujejer buku-buku kesayangan kami. Buku-buka sastra, science fiction dan novel-novel, serta buku-buku fisika dan astronomi milik suami akan bersanding dengan buku-buku psikologi, lingkungan dan kesehatan milik saya. Didalamnya juga akan ada warisan berharga, buku-buku agama dan pertanian milik almarhum bapak.

Ah,…
Rumah
Ke tempat inilah
Kami pulang

 

4 respons untuk ‘Tempat Hangat Bernama Rumah

  1. ida nur Laila berkata:

    Semoga sukses merinding membacanya…Lalu didalam lemari tua itu kujejer buku-buku kesayangan kami. Buku-buka sastra, science fiction dan novel-novel, serta buku-buku fisika dan astronomi milik suami akan bersanding dengan buku-buku psikologi, lingkungan dan kesehatan milik saya. Didalamnya juga akan ada warisan berharga, buku-buku agama dan pertanian milik almarhum bapak. jadi ingat buku-buku bapakku

    Suka

  2. wyuliandari berkata:

    Mak Ida, memang soal “rasa” tidak bisa diukur dengan rupiah ya maaak. Buku-buku tua itu kini menjadi warisan yang berharga. Terimakasih sudah berkunjung, mari minum teh dulu 🙂

    Suka

  3. Deradjatin Jusuf berkata:

    salam kenal u jeng Wyuliandari, kebetulan berasal dari desa Prajekan, saya seorg pensiunan PNS dr Kota Pasuruan kehilangan jejak u mencari saudr dr ibu saya dulu domisilinya di desa Prajekan (kidul/lor ?), seingat saya beliaunya (lupa namanya) dahulu menikah dgn bpk. Bastiaans mempunyai anak 3 laki2 semua setlh suaminy meninggal beliau menikah lagi & s/s sy tdk tahu bagaimana keadaannya, apabila mengetahui keluarganya mohon infony Jeng dan terimakasih atas bantuannya

    Suka

  4. wyuliandari berkata:

    Salam kenal kembali, Ibu. Sayangnya lupa nama ybs ya Bu. Nanti akan coba saya tanyakan pada saudara-saudara di Prajekan. Mungkin ada yg mengenal beliau. Terimakasih sudah berkunjung di sini 😀

    Suka

Tinggalkan komentar