Cinta Dalam Sepiring Bistik

Bagi hampir semua ibu, menyajikan makanan sehat, bergizi dan nikmat bagi seluruh anggota keluarga pasti merupakan hal yang dianggap penting. Yah, bahkan ada yang mengatakan, cinta itu datangnya dari perut. Maksudnya, masakan lezat yang senantiasa tersaji di meja makan akan memikat hati seorang suami dan membuat anak-anak juga makin cinta pada ibunya. Bahkan hampir semua anak akan mengenang masakan ibunya.

Bagi ibu di keluarga yang mampu tentu tak jadi masalah soal memanjakan keluarga dengan menu ciamik. Mau makan ini itu tinggal belanja dan masak. Nggak bisa masak? Tenang, bisa katering, restoran juga bertebaran, tinggal pilih sesuai selera seluruh keluaga. Mau chinesse food, masakan Jawa, Masakan Padang, atau bahkan menu ala Eropa, asal ada uang semua mudah didapat.

Namun, bagaimana jika uang belanja pas-pasan, atau bahkan berkekurangan? Boro-boro mau makan masakan Padang, misalnya. Buat sekadar membeli beras saja harus ekstra perhitungannya, demi menjaga stabilitas ngebulnya asap dapur. Dalam kondisi begini, memang ibu tak lagi bisa leluasa memanjakan lidah seisi rumah. Namun jangan sebut dia “Ibu” jika Dia tak punya cara untuk menyiasatinya.

Cerita ini saya dapat dari seorang rekan di kantor. Saya merasa sangat beruntung mengenal sosok Ibu yang satu Ini, ibunda rekan saya. Kawan saya ini dengan mata berbinar menceritakan tentang “Bistik Kenangan” masa kecilnya.

Ceritanya, kawan  saya terlahir di keluarga sederhana. Ayahnya seorang guru dengan empat orang anak. Tentu mereka harus hidup sederhana, agar dapur selalu ngebul dan keempat anak semua dapat menikmati pendidikan layak hingga jenjang tertinggi. Dalam kesederhanaan tersebut sang ibu sangat tahu, bagaimana cara tetap dapat memanjakan selera suami dan anak-anaknya.

Salah satu menu yang masih diingat dengan baik oleh teman saya ini adalah bistik. Makanya saya menyebutnya “Bistik Kenangan”. Loh? Bukannya bistik terbuat dari daging yang notabene termasuk makanan mewah bagi keluarga mereka? Begitu batin saya.

Ternyata yang dimaksud bistik oleh kawan saya, bukan seperti bistik kebanyakan. Yang mereka sebut bistik kala itu adalah tahu atau tempe goreng, atau paling mewah telur rebus, dengan saus dan sayuran rebus ala bistik. Bukan sesuatu yang mewah memang, tetapi nyatanya “Bistik Kenangan” itu menjadi menu favorit kawan saya dan bahkan masih diingat hingga berpuluh tahun kemudian.

Lain padang lain belalang

Lain lubuk lain ikannya

Lain Ibu, lain menu…

Ibu saya juga punya menu sederhana andalan. Murah bahannya, namun istimewa rasanya. Makanan super sederhana, tetapi sangat membekas di hati kami dan bahkan pernah diikutkan lomba cipta menu dan menang! Almarhum Bapak kami bahkan sering membangga-banggakan menu ciptaan ibunda ini di hadapan koleganya.

Salah satu masakan andalan ibunda saya adalah satai tempe. Bahannya tentu saja tempe yang dimasak bersama bumbu bali hingga empuk dan meresap, lantas ditusuk dengan tusukan satai, lalu dipanggang hingga harum. Hmmm… hingga kinipun masakan ini masih sesekali hadir di meja makan kami.

Memang Ibu punya seribu satu akal untuk menyenangkan suami dan anak-anak bahkan ditengah situsi serba terbatas. Seorang kerabat jauh yang “hanya” seorang petani kecil dengan banyak anak, memiliki banyak resep kesukaan keluarga yang murah meriah.

Kalau biasanya orang memasak pepes dengan bahan protein hewani, ikan atau ayam misalnya, maka kerabat saya ini biasa memanfaatkan aneka bahan nabati untuk membuat pepes. Misalnya terung, bahkan kangkung. Rasanya? Menurut kesaksian Ibu saya, Enak!

Ah, ibu memang terlahir untuk melayani sepenuh hati. Tak peduli seburuk apapun situasi. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah  berusaha memberi yang terbaik bagi semua anggota keluarga.

 

6 respons untuk ‘Cinta Dalam Sepiring Bistik

Tinggalkan komentar